Tema sentral PGI dan KWI tahun 2021 “Cinta Kasih Kristus yang menggerakan persaudaraan” yang diangkat dari Kitab 1 Petrus 1:22 sebagai ekspresi pengharapan dan kesetiakawanan sosial dalam keprihatinan akibat dampak pandemic COVID-19.
Tulisan ini mencoba memperluas makna ‘persaudaraan’ yang cakupannnya tidak hanya dalam lingkup manusia dengan manusia saja tetapi lebih luas dalam relasinya dengan alam. Dalam konteks Kabupaten Poso, khususnya wilayah Pamona Bersaudara, adalah suatu ritual yang dinamakan ‘Megilu’, yang belakangan ini hangat oleh karena unjuk rasa masyarakat wilayah Pamona Bersaudara terhadap sebuah korporasi nasional di wilayah Poso di bidang pembangkit listrik tenaga air yang memanfaatkan sumber daya dari debit air Danau Poso.
Tentunya, mega proyek dan ekses yang ditimbulkan sangat berdampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan dan bermanfaat untuk mendongkrak roda ekonomi di wilayah tersebut.
Terlepas dari asas manfaat tadi, di sisi lain bisa terjadi dampak negatif bila keseimbangan ekologis luput dari perhatian korporasi walau dalih telah melakukan studi kelayakan dan AMDAL.
Mengapa demikian? Jargon teoritical is not practical yang terjemahan bebasnya adalah teori biasanya tidak sesuai yang diparaktekan atau praktek biasanya tidak sesuai teorinya dapat terjadi.
Itulah kini yang kasat mata terjadi bagi alam tumpuan hidup penduduk dilingkar danau Poso ketika harus mengalami sawah terendam akibat air tidak kunjung surut dan matinya ternak seperti kerbau dan sapi akibat tidak dapat merumput lagi di areal yang terendam.
Demikian juga dalih pengerukan dasar sungai di hulu untuk mengatasi pendangkalan akibat sedimentasi beratus ratus tahun (mungkin juga ribuan tahun) dari aliran banyak sungai yang bermuara di danau dan yang terus bergeser mengikuti hilir sungai Poso.
Nalar manusia normal pasti dapat membedakan apa, bagaimana, dan dimana pengerukan dapat dilakukan sesuai maksud untuk mengurangi dan mencegah sedimentasi. Kalau pengeboman untuk menghancurkan bebatuan alam penyangga air apakah sama dengan pengerukan sedimentasi?
Kemudian, pengerukan sedimentasi dapat juga dilakukan secara merata dan terukur. Merata dalam arti tidak tidak terlokalisir, dan terukur dalam arti pada kedalaman yang wajar.
Hasil foto drone memperlihatkan lubang-lubang galian dasar sunagi dengan kedalaman lebih 4 meter (menurut nelayan toponyilo). Menimbulkan pertanyaan, Apakah benar tujuan pengerukan hanya untuk mencegah sedimentasi? Atau hanya untuk mempertinggi debit air demi putaran turbin? Mengapa hanya membuat lubang-lubang terlokalisir, dan mengapa tidak dikerjakan secara merata dan menyeluruh?
Pertanyaan berikut, kalau dalih pencegahan sedimentasi, mengapa pasir didasar danau Tando Duwangko harus dieksploitasi, padahal sebelumnya masyarakat dilarang mengambil pasir disitu? Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah sebuah refleksi bagi semua pemangku kepentingan berkaitan dengan Ekoteologi.
Ekoteologi adalah inter-relasi antara teologis-filosofis yang terkandung dalam ajaran agama dan alam. Meminjam istilah dalam Teori Etika Lingkungan, ada tiga model pendekatan yakni :
Antroposentrisme, hanya melihat hubungan manusia dengan dalam relasi instrumen. Alam dinilai sebagai alat untuk kepentingan manusia. Kalaupun manusia peduli terhadap alam, itu terjadi karena kepentingan manusia. Alam akan diberi perhatian jika ada hubungannya dengan kepentingan manusia. Jika tidak punya manfaat untuk manusia, maka dia akan ditinggalkan atau dibiarkan. Jadi suatu kebijakan atau tindakan yang berhubungan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik jika mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan yang bersifat ekonomis.
Biosentrisme, bumi dan alam semesta bukanlah sekedar “property” di tangan manusia, namun adalah subjek moral sebagaimana halnya manusia yang bernilai pada dirinya sendiri. Komunitas moral yang dikenal dalam kehidupan manusia, diperluas mencakup alam semesta. Jadi etika bumi bermaksud memperluas batas komunitas sehingga mencakup tanah, air, tumbuhan, binatang dan seluruh alam semesta. Etika bumi bermaksud untuk menegaskan dan mengukuhkan hak bumi untuk tetap berada dan berkembang dalam keadaannya yang alamiah.
Dan Ekosentrisme, ekosentrisme merupakan pengembangan dari teori biosentrisme. Ada persamaan mendasar antara ekosentrisme dengan biosentrisme. Keduanya mendobrak cara pandang Antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia.
Beberapa prinsip Etika Lingkungan yang dikemukakan oleh Dr. Sonny Keraf sebagai berikut :
1) Sikap hormat terhadap alam (respect for nature);
2)Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature),
3) Prinsip solidaritas kosmis (cosmic solidarity),
4) Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature),
5) Prinsip “No Harm”. Kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap alam akan menjauhkan manusia dari sikap atau tingkah laku yang dapat menyakiti alam. Manusia tidak akan melakukan hal- hal yang dapat merugikan atau menyiksa mahluk lain.
6) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam,
7) Prinsip keadilan. Prinsip ini tidak berbicara tentang perilaku manusia terhadap alam, tetapi lebih memperhatikan tentang bagaimana manusia harus berperilaku satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan alam semesta.Yang diperhatikan juga adalah bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positif pada kelestarian lingkungan hidup.
8) Prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi terikat erat dengan hakikat alam. Karena alam semesta ini terdiri dar i keragaman yang saling terkait satu dengan yang lain dalam suatu sistem yang teratur. Prinsip demokrasi sangat relevan dalam bidang lingkungan, terutama dalam kaitan dengan pengambilan kebijakan yang menentukan baik- buruk, tercemar- tidaknya lingkungan hidup,
9) Prinsip integritas moral (Moral Integrity) Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan etis. Contoh : pelaksanaan tugas melaksanakan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). Hasil dari AMDAL akan sangat ditentukan oleh sikap moral dari pelaksananya. Petugas yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang tidak memiliki integritas moral, kemungkinan besar hasil AMDAL nya akan merugikan lingkungan dan sesama manusia, bahkan generasi yang akan datang.
Dalam konteks Poso, unjuk rasa dengan ritual ‘Megilu’ yang terjadi barusan ini adalah sebuah reaksi atas antroposentrisme terhadap alam pemberian Sang Khalik yang menjadi habitat warga etnis Pamona secara turun temurun.
Megilu adalah sebuah tradisi sakral suku Pamona yang mengandung makna “ mengadu atau mengeluh” kepada Sang Pencipta (Pue Palaburu) ketika keluhan mereka kepada siapa mereka mengeluh tidak diindahkan dan dapat artikan pula sebagai bentuk pembelaan Pamona terhadap apa yang diberikan oleh sang pencipta yang berupa alam dan kehidupannya.
Ritual Megilu biasa dilakukan orang-orang di Poso. Terutama dilakukan untuk menceritakan persoalan. Masyarakat adat selanjutnya akan berkumpul dengan melakukan ritual, untuk menyampaikan keluh kesah kepada sosok yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
Ekspresi disampaikan dalam bentuk litani dalam rangkaian puisi dalam irama lagu balada yang sangat mengharukan menyayat hati.
Ketika mendengar balada megilu ketika melintas dalam aksi unjuk rasa masyarakat Pamona, darah saya berdesir dan tubuh bergetar haru sebagai sosok yang dibesarkan dalam tradisi Pamona kental.
Hal ini mengandung filosofis-ekoteologis yang sangat dalam dan sangat ekosentristis, sehingga ‘maaf’ jangan dibully oleh mereka yang tidak megerti, termasuk generasi milenial Pamona sendiri (jika ada) yang kurang mengerti dan yang mulai ter-reduksi nilai filosofis kultural Pamonanya.
Nilai ekosentrisme dalam eksistensi masyarakat Pamona Poso tidak bisa diganti ‘maaf’ dengan 10 kg beras. “Mau tuwu kami kayasi yasi pekanya be’e da merapi rapi, tana mami au nawai Pue nyangi data posi potianaka sangkani ngkani” (Kami akan hidup di alam yang diberikan sang Khalik dan akan terus menjaganya secara bersama sama, dan bukan atas dasar belas kasihan orang lain).
“Semoga Natal ini, membawa perenungan semua pemangku kepentingan untuk berdamai kembali dengan alam dalam rasa persaudaraan. Selamat menyambut Natal 2021. Tuhan Yesus memberkati. **
Oleh : Pdt. Rikson Towengke, S.Th., M.Pd., C.R.B.D., C.R.B.C.