MORUT -Lurah Bahontula Budi Tangko membantah soal berita yang beredar luas, terkait dirinya dituding terlibat dalam jual beli tanah kepada pihak perusahaan, yang dinilai mencari keuntungan.
Berita persoalan pembebasan lahan di area pertambangan PT. Afit Lintas Jaya (ALJ) di kelurahan Bahontula, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menanggapi persoalan tersebut, Budi Tangko menjelaskan saat menggelar konferensi pers, Senin (26/11/2023).
Ia menyebut kalau dirinya tidak pernah menjual tanah seluas 100 hektar di lokasi tambang PT. ALJ sebagaimana yang ditudingkan.
“Silahkan teman-teman kroscek langsung ke perusahaan PT. ALJ,” pinta Lurah Bahontula, Budi Tangko kepada wartawan.
Menurutnya, saya hanya mengurus sebatas lahan perkebunan masyarakat seluas 29 hektar yang mereka kuasai sejak tahun 1970 an, dengan menerbitkan legalitas.
“Saat pencairan pembebasan, mereka (pemilik lahan-red) sendiri lah yang langsung bertemu pihak perusahaan melalui Bank BRI dan saya tidak terlibat dalam hal itu,” sambungnya lagi.
Sementara kata dia, lahan perkebunan masyarakat yang dibebaskan perusahaan masuk dalam kategori kawasan area penggunaan lain (APL).
“Jadi tidak benar jika lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung sebagaimana yang beredar diluar sana,” tepis Budi Tangko.
Ia pun menegaskan kalau dirinya tak terima disebut mafia tanah, ini pencemaran nama baik saya dan keluarga, dan saya tidak senang dengan kata-kata itu.
Kemudian ia juga menyebut tidak menerima surat pernyataan yang dibuat oleh Melkias. Dimana dalam surat itu, jika saya melalui pintu belakang Bank BRI mengambil yang menjadi haknya.
“Ada bukti-bukti saya pegang mengenai Melkias ini. Dan perlu diketahui bahwa yang saya kejar adalah hak saya, bukan hak Melkias,” tandas Budi dengan nada kesal.
Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa sebelum pembebasan lahan 29 hektar itu, sudah terjadi pembebasan lahan yang masih di area APL mulai tahap satu sampai tahap empat yang dimotori oleh Joni Mursalim alias Ampu Luli.
“Ampu Luli ini yang katanya diberi kuasa oleh pemilik lahan untuk mengurus proses pembebasan tahap satu sampai tahap empat hingga ke tahap pencairan, dan saya hanya sebatas membuat legalitasnya saja,” ujarnya.
Sementara harga lahan tersebut dari perusahaan senilai Rp 50 ribu per meter, karena lokasi itu berada di pusat aktivitas pertambangan.
Namun pada saat pencairan, Ampu Luli memotong Rp 20 ribu dari Rp 50 ribu permeter, kemudian Rp 30 ribunya diserahkan langsung ke pemilik lahan, bahkan itu pun disunat lagi sebesar 20 persen perorang.
Adapun proses pencairan dari tahap satu ke tahap empat semuanya masuk ke rekening pribadi Joni Mursalim kemudian ia serahkan ke pemilik lahan.
“Khusus perkebunan masyarakat seluas 29 hektar itu hanya Rp 25 ribu per meter nilai pembebasannya yang ditetapkan perusahaan, karena letak lokasinya tidak berada dipusat aktivitas pertambangan,” ucapnya.
Untuk proses pencairannya ungkap Budi, melalui Bank BRI yang diserahkan langsung oleh pihak perusahaan ke warga (pemilik lahan-red).
“Jadi saya tegaskan kembali, bahwa saya hanya sebatas membuat legalitas sesuai permohonan pemilik lahan, jadi yang sebenarnya mafia tanah disini adalah mereka yang sudah membodoh-bodohi masyarakat saya,” tegasnya..
Ia menambahkan, atas tudingan-tudingan itu, saya juga tidak akan tinggal diam, dan saya akan segera menempuh jalur hukum, karena nama baik saya sudah dicemarkan.
Hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan resmi dari Melkias dan Joni Mursalim alias Ampu Luli sebagaimana disebut Lurah Bahontula di konferensi pers.(**)