POSO, DETAIL73.COM – Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) menyayangkan Presiden RI Joko Widodo, meresmikan PLTA Poso Peaker 515 MW yang berada di Desa Sulewana Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Pasalnya, listrik 515 MW yang dihasilkan untuk mendukung ketersediaan listrik di Sulsel, Sulbar dan Sulteng ini, hanya menimbulkan masalah serius bagi warga sekeliling Danau.
Menurut MADP dalam konferensi pers melalui zoom meeting Jumat (25/2) menyebutkan, untuk menghasilkan listrik berkekuatan 515 MW, perusahaan harus membendung sungai dan melakukan pengerukan sepanjang 12,8 KM di outlet Danau Poso serta mereklamasi wilayah ulayat adat Danau Poso. Sehingga hal itu menjadi beban para petani dan nelayan di sekeliling Danau Poso.
PT.Poso Energy (PE) telah mengeruk keuntungan bisnis yang besar dari Danau Poso dengan memiskinkan warga.
Sawah dan Kebun Terendam
Sejak 2020, MADP mencatat terdapat 266 hektar sawah dan kebun serta lahan penggembalaan warga terendam.
Akibatnya para petani bukan hanya tidak bisa mengolah sawah atau kebun, tetapi juga tidak bisa membiayai kehidupan sehari-hari, pendidikan dan kesehatan.
PT Poso Energi sendiri mengakui dalam pertemuan mediasi dengan petani terdampak di kantor Gubernur Sulteng , 22 Desember 2021, luas yang terendam mencapai 500 hektar.
Saat ratusan petani menuntut PT Poso Energi bertanggungjawab atas kerugian yang dialami, tuntutan para petani dijawab oleh perusahaan dengan nilai kompensasi 10 kg beras/are sawah yang terendam.
Ketua Adat Danau Poso Berlin Modjanggo menganggap, bahwa besaran nilai yang diberikan itu tidak masuk akal.
“Sebab berdasarkan perhitungan petani, 1 are sawah mereka menghasilkan sekitar 40 kg beras. Jadi kalau cuma 10 Kg per are itu tidak masuk akal,” sebutnya.
Ladang Penggembalaan Terendam
Akibat air danau yang tidak lagi surut mengikuti musim, menyebabkan sawah dan kebun tidak bisa diolah. Sehingga penggembalaan kerbau di desa Tokilo Kecamatan Pamona Tenggara juga susut lebih dari setengah.
“Warga yang sebelumnya pelihara kerbau semampu mereka, kini dibatasi hanya maksimal 3 ekor per keluarga,” terang Lina yang tergabung dalam MADP.
Sambung Lina, kebijakan itu diambil pemerintah desa agar rumput yang tersisa mencukupi kebutuhan semua kerbau dan sapi, bagi warga 3 desa yang ada di Kecamatan Pamona Tenggara. Yakni, DesaTokilo, Tindoli dan Tolambo.
Padahal, kerbau adalah tabungan yang sewaktu waktu bisa dijual untuk membayar kebutuhan pendidikan anak, kesehatan atau untuk perayaan pesta dan kebutuhan tak terduga. Namun kini tabungan itu hilang seiring perubahan bentang alam Danau Poso.
Tidak hanya itu, tetapi masih banyak lagi yang merugikan masyarakat sekitar Danau Poso. Yakni, nelayan tradisional terancam punah dan rusaknya ekosistem.
Sementara, Solidaritas Perempuan yang diwakili Evani Hamzah menyebutkan, dari data yang didapatkan bahwa PLTA Poso yang berada di Desa Sulewana, Saojo, Tampemadoro dan Pandiri itu akan menghasilkan 940 MW energi listrik. Belum lagi yang berada di wilayah Malea dan Mamuju.
Ini tentunya kata Eva, target target yang jumlahnya sangat fantastik. Tetapi target pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan membangun sejumlah PLTA di Indonesia termasuk di Poso telah merampas sumber dan kehidupan masyarakat.
Faktanya, sawah terendam dan diganti rugi tidak sesuai dengan pendapatan para petani dan kerusakan lingkungan terjadi disekeliling danau. Belum lagi intimidasi yang di dapatkan warga saat mempertahankan hak mereka.
“Jadi prose pemiskinan memang benar sedang terjadi di depan mata kita dan tentunya hal ini sangat menyedihkan,” ucapnya.
Proyek yang berskala besar ini diagung agungkan oleh pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi faktannya PLTA itu dilakukan dengan cara membongkar hutan, merubah bentang sungai dari melakukan pengerukan hingga melakukan pemboman sungai Poso.
Solidaritas perempuan pernah melakukan riset tahun 2019-2020 untuk melihat bagaimana posisi perempuan dalam sistim pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) pada konteks pembangunan PLTA Poso Energy.
“Dalam hasil riset kami selain mengambarkan perempuan mengalami kerugian secara materil yang menyebabkan kemiskinan karena kehilangan sumber hidupnya, Pembangunan PLTA di Poso tidak melakukan konsultasi dengan kelompok perempuan. Padahal perempuan adalah kelompok yang rentan mengalami dampak ketika lingkungan dan sumber kehidupannya diganggu oleh sebuah aktifitas proyek pembangunan,” pungkasnya.(*)