Sulteng, Detail73.com – Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng melalui koordinatornya Eva Bande, menilai eskalasi konflik Agraria di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun makin meningkat. Paling banyak terjadi di sektor perkebunan sawit.
“Watak monopolistik yang dimiliki oleh perusahaan sawit ini tidak mengarah pada kesejahteraan bagi petani, justru hal tersebut menjadi akar masalah konflik agaria di pedesaan,” ungkap Eva, Selasa (14/09/2021).
Konflik agraria yang terjadi di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah diantaranya, Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Donggala, merupakan tempat bercokolnya perusahaan-perusahaan sawit skala besar yang menimbulkan konflik terhadap petani.
Di Kabupaten Banggai terdapat kasus perampasan lahan, alih fungsi kawawasan hutan dan kriminalisasi terhadap Samria oleh PT Kurnia Luwuk Sejati, di wilayah yang sama PT Sawindo Cemerlangmengkriminalisasi petani transmigran Suparman.
“Di Kabupaten Morowali Utara salah satu warga telah di sel di Polres Morowali Utara atas laporan perusahaan PT Agro Nusa Abadi. Padahal yang kami ketahui bahwa PT Agro Nusa Abadi diduga belum memiliki Hak Guna Usaha,” jelas aktivis yang pernah dipenjarakan karena membela petani di Banggai.
Olehnya, dia mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dan pihak kepolisian untuk menertibkan perusahaan tersebut.
“Bagaimana mungkin perusahaan yang diduga tidak memiliki legalitas dapat membuka perkebunan skala besar diatas tanah-tanah petani,” imbuhnya.
Di Kabupaten Donggala, kata Eva, terdapat kasus perampasan lahan dan upaya kriminalisasi terhadap petani.
“Belum lama berselang petani Rio Pakava atas nama Hemsi pergi ke Belanda mengadu kepada para pendana perusahaan PT Astra Agro Lestari. Ia telah melaporkan ke pihak Kepolisian dan pihak terkait di dalam negeri, tetapi laporannya tidak mendapatkan titik terang,” jelasnya.
Deretan kasus diatas hanyalah sebagian kecil kasus Konflik Agraria di Sulawesi Tengah. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang hari ini diperjuangkan oleh petani-petani di pedesaan.
“Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng menaruh harapan kepada Gubernur Sulteng yang baru untuk memimpin dan mengambil alih penyelesaian konflik agrarian di Sulawesi Tengah,” harap Eva.
FRAS Sulteng bersama petani telah memasukkan surat permintaan audiens kepada Kapolda Sulteng.
“Kami berharap dapat berdiskusi dan menyampaikan terkait masalah-masalah konflik agraria yang terjadi. Surat kami ditanggapi dan disarankan untuk bertemu ke bagian Ditreskrimum, menurut kami pelimpahan ini tidak akan menjawab problem yang FRAS Sulteng akan sampaikan,” tambahnya.
Kepada Polda Sulteng, FRAS menyatakan secara tegas agar pihak kepolisian tidak tebang pilih dalam penyelesaian konflik agraia yang melibatkan perusahaan skala besar.
“Pihak Kepolisian seharusnya menjadi garda terdepan memberikan perlindungan kepada rakyat, bukan justru abai ataupun cenderung menjadi kaki tangan perusahaan melakukan intimidasi, represi dan penangkapan-penangkapan terhadap rakyat,” tutupnya.