“Sirnanya Pajajaran di Bumi Parahyangan”
Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Pajajaran adalah sebuah kerajaan terbesar dan terkuat di bagian Barat Pulau Jawa. Puncak kejayaannya di masa Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu Siliwangi) bertahta sejak tahun 1482-1521 M. Namun selepas kepergiannya Pajajaran mengalami kemunduran dikarenakan ketidakmampuan generasi penerusnya dalam mengelolah tata pemerintahanya dng baik. Ujungnya pada saat penandatanganan perjanjian kontrak kerjasama antara Pajajaran dengan Portugis di Kalapa pada tanggal 21 Agustus 1522 yang menyebabkan Raja Demak Sultan Trenggono murka lalu mengutus Fadhila Khan dari Pasai untuk melenyapkan Sunda Kalapa dari pengaruh Pajajaran.
Sejak itu Pajajaran harus angkat kaki dari Bumi Kalapa dan kembali ke pedalaman Bogor sebagai pusat pemerintahan Pakuan Pajajaran.
Dalam kondisi yg tertekan seperti ini, dimana sebagian wilayah Pajajaran bagian timur yakni Kerajaan Galuh juga sudah ditaklukan Cirebon yg merupakan fasal Demak, akhirnya raja Pajajaran prabu Surawisesa terpaksa harus mengirim utusan ke Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah sbg penguasa Cirebon, guna melakukan Perjanjian Damai sebagaimana yg tertuang dalam: Koropak 406 Carita Parahiyangan pada tanggal 14 paro-terang bulan Asadha tahun 1453 Saka (12 Juni 1531 M), yang isinya:
“…Kedua-belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih. Kedua- belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris (seuweu-siwi) Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), sedarah janganlah putus.. ”
Namun setelah sekian masa berlalu dimana saat kepemimpinan Panembahan Banten Maulana Hasanudin sebagai pengusa Banten sejak 1552-1570 M, perjanjian ini dianggap hanya menguntungkan Cirebon dan membuat stabilas keamanan Banten terancam. Terbukti sejak mangkatnya Prabu Surawisesa 1535 M yg kemudian digantikan oleh putranya Sang Ratu Dewata, Pajajaran tidak lagi patuh dng aturan2 yg telah disepakti bersama. Sang Raja tidak lagi mementingkan urusan duniawi dan lebih cendrung menjadi seorang Resi yg meyebabkan rakyatnya banyak yg hidup berfoya2, meminum arak dan melakukan perbuatan2 tercela.
Hal ini yang kemudian membuat Maulana Hasanudin geram lalu menyusun kekuatan secara diam2 untuk melakukan penyerangan ke Pajajaran.
Serangan ini menyebabkan terbunuhnya beberapa prajurit muda Pajajaran seperti tertuang dalam Carita Parahiyangan: “…datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang…”
(Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Usaha peyerbuan Panrmbahan Maulana Hasanudin kali ini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sebab benteng pertahan Pajajaran yg dilengkapi dng parit2 besar menyulitkan pasukan Banten, ditambah lagi perang ini dilakukan secara diam2 tanpa identitas KeBantenan demi menjaga nama baik keluarga.
Upaya penyerbuan ke dua kalinya dilakukan oleh Panembahan Maulana Hasanudin pada saat Nilakendra atau Toohan Majaya memimpin Pajajaran 1551-1567 M, dimana masa tersebut dikenal dng masa ‘kaliyuga’ (zaman kemaksiatan dan kejahatan). Nilakendra lebih mementingkan urusan perut dan menyukai pesta fora bersama wanita2 serta mempercantik istana tanpa memperdulikan rakyat yang tengah sengsara. Pajajaran benar-benar berada di ambang kehancurannya.
Demi melihat kejadian tersebut Panembahan Hasanudin benar2 geram lalu menyusun upaya penyerbuan ke dua kalinya. Serbuan kali ini membuahkan hasil. Prabu Nilakendra berhasil meloloskan diri keluar dari istana dan tidak diketahui kemana perginya karena sebagian pengikut2 setianya meninggalkan dirinya. Sebagaimana yang digambarkan dalam Carita Parahyangan, :
“…Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan…”
(Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton). Ia lenyap begitu saja tanpa ada informasi dimana hidupnya berakhir.
Kondisi di ibukota Pakuan Pajajaran pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota lagi. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.
Satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, adalah Sang Ragamulya Suryakancana. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya, berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan.
Sulit dibayangkan memang, bagaimana bisa pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan di Banten? Yang pasti menurut, Yosef Iskandar: Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Dan yang lebih pasti lagi di tempat baru ini tepatnya pada tahun 1579 Prabu Ragamulya Suryakancana gugur oleh pasukan Maulana Yusuf dari Surosowan.
Lantas bagaimana Pajajaran benar2 bisa sirna dari bumi Parahyangan?
Yah, masa itu terjadi pada era kepemimpinan Panembahan Maulan Yusuf 1570-1580 M. Setelah upaya dua kali penyerbuan ayahanda Panembahan Yusuf yakni Panembahan Maulana Hasanudin belum membuahkan hasil maksimal, maka di era kepemimpinan Maulana Yusuf ini lah Pajajaran benar2 sirnah dari kejayaannya di bumi Jawa.
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
“Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.
Berakhirnya kekuasaan Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (Singgasana Raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu diboyong untuk menghilangkan tradisi politik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan seorang raja baru.
*(BPS Provinsi Banten (2019). Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019. Dinas Pariwisata Provinsi Banten. hlm. 48.)…***
Wallahu a’lam bishawab
Semoga Manfaat