Tiga Tahun Pasca GEMPA Dasyat di Wilayah Palu, Sigi dan Donggala

Palu, 28 September 2021O

Oleh ; Mochtar Marhum

Hari ini tanggal 28 September genap tiga tahun peringatan terjadinya bencana maha dasyat yang melululantahkan dan nyaris melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat wilayah Palu, Sigi dan Donggala (PASIGALA).

Hari itu hari Jumat sore jelang Magrib. Sebelum terjadi Gempa dasyat, telah terjadi tanda-tanda yang diawali dengan getaran gempa yang cukup besar.

Kemudian jelang Magrib terjadilah Gempa bumi bermagnitudo 7.4 Skala Richter menewaskan ribuan jiwa tenan-teman, sahabat dan kerabat serta banyak orang-orang yang kita cintai.

Miliaran hingga triliunan aset pemerintah dan harta benda warga masyarakat PASIGALA hancur dan juga ada yang hilang hanya dalam hitungan menit, jam dan hari.

Bencana yang terjadi tiga tahun yang lalu sangat unik dan mungkin hampir tidak pernah ada kemiripan dengan bencana yang terjadi di wilayah lain bahkan juga di seluruh dunia.

Gempa yang terjadi di wilayah Palu, Sigi dan Donggala itu bisa dianalogikan seperti penyakit Diabetes Melitus (DM) karena juga telah menimbulkan semacam komplikasi bencana atau Multi-disasters.

Akibat gempa yang super dasyat itu menimbulkan Tsunami, Fenomena tanah Likuefaksi dan juga telah menimbulkan Kebakaran rumah masyarakat di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa, dua wilayah yang terdampak likuefaksi.

DAMPAK DARI GEMPA
Bencana alam ini juga diikuti dengan bencana sosial karena terdapat kasus penjarahan besar-besaran pada pusat pertokoan dan rumah-rumah masyarakat yang ditinggalkan pemiliknya karena mengungsi.

Di tengah suasana duka, ada kisah unik dan juga joke yang viral di media sosial.

Keunikan dari gempa di Sulawesi Tengah antara lain ada rumah masyarakat yang terdampak likuefaksi yang amblas dan tertimbun lumpur, ada yang teraduk-aduk, tergulung dan seperti diblender kemudian ada yang muncul lagi ke permukaan bumi.

Dan kemudian ada bangunan yang terseret dan bergerak pindah beberapa ratus meter dari tempat semula.

Tidak hanya bangunan berpindah tapi juga tower BTS dan banyak tanaman yang berpindah tempat termasuk pohon kelapa, pohon pisang dan tanaman jagung.

Sehingga ketika masyarakat berkunjung ke desa Jonooge di Kabupaten Sigi ada yang merasa keheranan setelah melihat sejumlah tanaman perkebunan tiba-tiba sudah ada di dekat kampungnya yang terdampak tanah likuifaksi.

Juga ada kisah jenaka yang jadi viral tentang anekdot yang menyebutkan bahwa beberapa onderdil mobil dan onderdil motor berpindah dari pantai yang terdampak Tsunami pindah ke dunia maya dalam hal ini di grup FB Info Jual Beli Kota Palu.

Juga beberapa merek beras yang sering dijual di Swalayan Alfa Midi ditemukan berpindah ke pasar-pasar tradisional.

Yang lebih unik lagi pada umumnya dapur masyarakat berpindah dari belakang rumah ke depan rumah karena masyarakat masih takut menggunakan dapur konvensional di dalam rumah karena takut sewaktu-waktu terjadi gempa susulan.

Juga akibat menyebarnya berita hoax bahwa akan ada lagi gempa yang lebih dasyat dan menyebarnya kabar palsu bahwa di banyak wilayah kota Palu telah terdapat lumpur likuefaksi sehingga semakin banyak masyarakat yang takut dan melakukan eksodus besar-besaran mengungsi keluar dari wilayah PASIGALA.

Sebaliknya dalam waktu hampir bersamaan patut diapresiasi dan diacungi jempol karena juga secara bersamaan ada ribuan relawan dan armada bala bantuan yang masuk ke wilayah terdampak untuk membantu meringankan beban dan duka masyarakat.

Sampai batas akhir masa tanggap darurat laporan resmi pemerintah mencatat korban meninggal 2086 jiwa, korban luka-luka 4.438, korban hilang 1075 orang, korban yang mengungsi 206.494 orang dan rumah atau bangunan lainnya yang terdampak 68.451 unit (Koran Kailipost, 27/10/2018).

Namun, dari laporan masyarakat terdampak diduga korban jiwa dan luka-luka masih jauh lebih banyak. Misalnya di tiga wilayah terdampak likuefaksi korban jiwa yang tertimbun lumpur dan belum sempat dievakuasi masih cukup banyak.

FAKTA DAN REALITA

Di dunia, katanya, ada tiga ibukota dilalui sesar aktif, yakni Palu (Sulteng), Wellington (New Zealand), dan San Franscisco (California) Amerika Serikat.

Kota Welington di New Zealand berada di jalur Sesar Welington dan demikian juga Kota Los Angles di Negara Bagian Kalifornia Amerika Serikat berada tepat di jalur Sesar San Andreas dan Kota Palu ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dilalui Sesar Palukoro.

Namun, masyarakat di kedua kota besar dunia di lur negeri tidak menganggap Sesar Welington dan Sesar San Andreas sebagai hantu yang menakutkan dan harus ditakuti.

Bahkan sejak dulu sering timbulnya gempa akibat aktivitas sesar tapi tidak pernah muncul ide dari pemerintah dan masyarakat untuk menghindari dan memindahkan kota Los Angles dan Kota Wellington ke tempat lain.

Kedua kota tersebut justru terus dibangun dan dikembangkan dengan bangunan tahan gempa. Dan masyarakat di wilayah tersebut untuk menyikapi dan mengantisipasi potensi siklus gempa jika kembali terjadi.

Terus mengedukasi masyarakat dengan kurikulum pendidikan kebencanaan. Pemerintah menyiapkan rencana tanggap darurat (Contingency Plan). Dan selalu menyiapkan mitigasi bencana yang handal.

Indonesia berada di cekungan jalur gempa, cincin api (Ring of Fire) dikelilingi oleh daerah tapal kuda sepanjang 40.000 km dan terdapat tiga lempeng raksasa yaitu sebelah utara ada lempeng Eurosia, sebelah selatan ada lempeng Indo-Australia dan sebelah timur ada Lempeng Pasifik.

Wilayah ini sering mengalami gempa tektonik dan gempa vulkanik.

Menurut BMKG, dari 90 % gempa bumi dan 80% Gempa terbesar di dunia terjadi di wilayah cincin api.

Gempa bermagnitudo 7,4 di Donggala dan getarannya berdampak signifikan di wilayah Palu dan Sigi disebabkan oleh pergerakan Sesar Palu-Koro.

Pergerakannya adalah sesar mendatar (slike-slip). Artinya, antara lempeng bumi satu dan lempeng bumi lain bergerak sejajar (Detiknews,28/09/2018).

Banyak pakar Geologi dunia tidak memperkirakan akan terjadi Tsunami pasca terjadinya gempa tersebut karena menurut kajian kegempaan dan tsunami, pergerakan sesar secara horizontal tidak lazim menimbulkan tsunami.

Umumnya, tsunami bisa terjadi ketika gempa berada di zona subduksi atau pertemuan dua lempeng, episentrum pada kedalaman kurang dari 70 kilometer, dan adanya gerakan sesar vertikal (Kompas, 01/08/2018).

BNPB sebut empat Likuefaksi terjadi di wilayah terdampak PASIGALA yaitu Keluarahan Balaroa Kecamatan Palu Barat, Kelurahan Petobo Kecamatan Palu Selatan, Desa Jono Oge dan Desa Sibalaya Kabupaten Sigi (Tempo, 01/10/2018).

Dua kelurahan yang terdampak bencana Likuefaksi memiliki populasi pemukiman penduduk yang padat dan banyak menelan korban jiwa dan harta benda.

MITIGASI BENCANA DAN PENDIDIKAN TANGGAP BENCANA

Di seluruh dunia edukasi kebencanaan yang diajarkan di sekolah-sekolah secara tradisional dan konvemsional hampir mirip.

Seperti edukasi kebenvanaan yang mengajarkan jika terjadi gempa, masyarakat yang ada di dalam rumah harus bersembunyi di tempat yang aman dan terlindungi seperti di bawa meja dan di sudut bangunan yang berbentuk triangle of life di mana ketika bangunan runtuh, ada terdapat ruang yang bisa digunakan untuk berlindung.

Dan mereka yang berada di luar rumah ketikata terjadi Gempa harus berlari ke tanah lapang agar bisa menghindari reruntuhan bangunan atau pepohonona yang tumbang.

Teori dan eduaksi kebencanaan seperti tersebut di atas justru tidak berlaku pada bencana 28 September lalu terutama mereka yang bermukim di daerah yang terdapat fenomena tanah likuifaksi. Justru merek yang bersembunyi di bawa meja dan lari ke tanah lapang jadi korban tersedot lumpur tanah bencana likuifaksi yang dasyat tersebut seperti kasus di Perumnas Balaroa.

Mengurangi resiko yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana merupakan tanggung jawab bersama tidak hanya pihak pemerintah tapi juga seluruh pihak stakeholders terkait.

Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri jika terjadi gempa dan tsunami mutlak dilakukan apalagi wilayah PASIGALA berada diwilayah yang diliwati Sesar Palu Koro. Sehingga merupakan suatu kenicayaan bahwa bencana sewaktu-waktu bisa terjadi kembali pada siklus tertentu puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang akan datang dan tinggal bagaimana menyikapinya.

Namun, untuk fenomena Liekufaksi mungkin belum ada satupun bentuk edukasi yang bisa diterapkan untuk mengurasngi jumlah resiko korban yang ditimbulkan oleh fenomena likuefaksi.

Kebijakan mitigasi bencana dan manajemen bencana serta penerapan PERDA Tata Ruang yang tepat mungkin lebih efektif. Dan demikian juga mutlak dibutuhkan peta rawan bencana dan peta wilayah potensi tanah likuefaksi.

Wilayah yang terindikasi masuk wilayah yang berpotensi dan terdapat tanah Liekufaksi tidak boleh dijadikan tempat pemukiman penduduk seperti di luar negeri.

Di luar negeri beberapa negara yang wilayahnya punya potensi tanah likuifaksi berdasarkan kajian ilmiah interdisiplin, dilarang keras membangun pemukiman. Larangan tersebut diatur dengan aturan dan undang-undang yang tegas.

Dari perspektif edukatif, sebaiknya sekolah memasukkan mata pelajaran tanggap bencana pada kurikulum muatan lokal sehingga anak-anak di wilayah yang rawan bencana telah siap dan tanggap jika terjadi bencana dan bisa membantu menyelematkan diri mereka.

Mungkin perlu belajar dari Jepang terkait cara menghadapi bencana seperti Gempa dan Tsunami.

Jepang adapah negara yang paling sering dilanda bencana Gempa dan Tsunami. Terakhir kali Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011 silam.

Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo itu menimbulkan tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir timur laut negara itu. Sekitar 19.000 orang tewas dan hilang akibat peristiwa tersebut, serta menyebabkan kebocoran pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi (Kompas, 02/10/2018).

Jepang salah satu negara yang paling sering terjadi bencana gempa dan tsunami. Namun, negara ini telah lama berhasil menerapkan kurikulum pendidikan tanggap bencana (Disaster Education).

Anak-anak sekolah sudah terbiasa dan tanggap pelajaran dan pelatihan tanggap bencana. Setiap bulan diadakan simulasi tanggap bencana di sekolah, kampus, instansi pemerintah dan swasta.

Semakin banyak jumlah korban yang ditimbulkan akibat bencana yang terjadi merupakan indikator kegagalan kebijakan mitigasi bencana, manajemen bencana, pendidikan tanggap bencana serta Contingency Plan.

Menyangkut manajemen bencana dalam keadaan darurat (Emergenscy) sebaiknya SOP (Standard Operating Procedure) yang diterapkan tidak kaku misalnya penyaluran bantuan bencana tidak perlu harus menunjukkan KTP atau Kartu keluarga karena kemungkinan banyak korban Tsunami dan Likuefaksi telah kehilangan dokumen tersebut.

Hal ini pernah dikeluhkan oleh beberapa warga yang terdampak bencana ketika akan mengurus penyaluran bencana, mereka merasa dipersulit dengan birokrasi dan manajemen kebencanaan yang kaku.

BENCANA ALAM DARI PERSPEKTIF TEOLOGI, DAN DARI KONTEKS ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Sebagai masyarakat yang beragama dan berpendidikan, tentu aspek teologi dan teknologi serta pendekatan ilmu Geologi harus menjadi pertimbangan, renungan dan analisa.

Bencana seperti Gempa dan Tsunami dalam agama Islam misalnya bisa dilihat dalam AlQuran Surah Al Zalzalah Ayat 1 dan 2 secara jelas disebutkan “Apabila bumi diguncangkan dengan dasyat dan bumi mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya”.

Dan terkait dengan Tsunami dapat dilihat pada AlQuran Surah Al Infithar ayat 3 “Apabila Air Laut Menjadi Meluap” dan Surah At Takwiir ayat 6 “Apabila Laut Dipanaskan”.

Dan Allah mengisahkan peristiwa Likuefaksi dalam Surah Al-Qashshash ayat 81 “Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.”

Pasca terjadinya bencana maha dasyat, masyarakat menjadi sadar dan lebih taat. Masjid dan rumah-rumah ibadah semakin ramai.

Umat yang terdampak mungkin semakin sadar bahwa bencana yang barusan melululantahkan wilayah PASIGALA tidak bisa hanya dilihat dari perspektif ilmu pengetahuan (Geologi, Fisika Bumi dan Teknologi) tapi aspek juga aspek Teologi (Agama) tentu juga harus dijadikan sebagai referensi.

Sampai detik ini belum ada satupun teknologi dan ilmu kegempaan termasuk ilmu Sesmiology, Geofisika, maupun Ilmu Geologi yang mampu menentukan secara akurat kapan akan terjadinya siklus gempa yang bermagnitudo signifikan termasuk Gempa Megatrust.

Expedisi Palu Koro yang dilakukan oleh tim Peneliti dari LIPI dan BPPT dan juga hasil penelitian disertasi Doktor (S3) Mudrid Daryono telah cukup banyak melaporkan temuan aktivitas sesar Palu Koro dan Sejarah siklus gempa dan Tsunami di Wilayah PASIGALA sejak tahun 1907 sampai tahun 1968.

Disinyalir bahkan tim ekspedisi Palukoro yang terdiri dari peneliti senior dari LIPI dan BPPT sempat berkunjung ke pemerintah daerah setempat dan mengingatkan akan kemungkinan adanya siklus gempa bermagnitudo dasyat berdasyarkan kajian yang mereka lakukan. Namun, katanya justru direspon dengan candaan jangan-jangan takut-takuti masyarakat nanti investor enggan masuk ke wilayah ini.

Sekitar tahun 2011 berdasarkan informasi dari seorang sahabat aktivis NGO mengatakan bahwa sebenarnya pernah diadakan simulasi kebencanaan dengan penerapan dokumen tanggap bencana (Contingency Plan), dan simulasi yang pernah dilakukan di beberapa titik lokasi terjadinya Tsunami di sekitar teluk Palu.

Dan dari hasil expedisi teranyer temuan pakar Geologi tersebut telah dipublikasikan di Koran Kompas yang terbit tahun 2017 dan sebaiknya temuan itu bisa menjadi peringatan dini atau early warning terkait potensi Gempa Besar yang akan terjadi di Sulawesi Tengah (PASIGALA) akibat aktivitas Sesar Palu Koro dan Siklus 100 tahunan Gempa dan Tsunami di wilayah ini.

Sejumlah pakar kegempaan dunia merasa heran bisa terjadi Tsunami dengan ketinggian mencapai sekitar lebih dari 10 meter dan telah menewaskan banyak orang yang pada saat itu lagi berada di wilayah pesisir pantai di sekitar teluk Palu dan wilayah kabupaten Donggala.

Menurut analisa pakar Geologi dan Tsunami, Sesar geser atau sesar horisontal kecil kemungkinan menimbulkan Tsunami. Walaupun pada akhirnya sejumlah pakar berspekukasi bahwa Tsunami yang terjadi pada tanggal 28 September yang lalu merupakan peristiwa longsoran sedimen di dasar laut yang ditimbulkan oleh gempa bermagnitudo tinggi (Tribun News 29/09/2018).

Ajal dan bencana merupakan suatu keniscayaan yang bisa saja terjadi di mana saja dan kapan saja jika dikehendaki oleh Allah Swt sebagai maha pencipta.

Bencana dan fenomena alam yang di luar nalar ilmuwan Geologi mungkin bisa terlihat pada tragedi bencana Gempa, Tsunami dan Likuefaksi di wilayah PASIGALA.

Sejumlah saksi yang selamat menceritakan pengalaman mereka. Dan menurut mereka teknologi secanggih apapun tidak akan mampu mengatasi bencana dasyat dan kompleks tersebut sehingga tentu penjelasan teologi (agama) mutlak dibutuhkan. Dan ini berarti bahwa ada suatu kekuatan yang bisa menggerakkan sehingga terjadinya bencana melalui fenomena alam masyarakat alami terjadi di wilayah Palu, Sigi dan Donggala.

Tiga tahun pasca bencana, haruslah dijadikan refleksi akan pentingnya bersahabat dengan Alam dan percaya dengan Allah sebagai pencipta Alam ini.

Jadikan setiap bencana bukan sebagai hantu yang menakutkan tapi sebagai pelajaran dan teguran agar kita tidak lupa diri dan apalagi lupa dengan sang Pencipta Alam.

Banyak negara yang pernah hancur dan terpuruk akibat dilululantahkan oleh bencana tapi bisa bangkit kembali dan menjadi maju karena mereka tidak menganggap bencana itu sebagai hantu yang harus dihindari.

Namun, mereka mampu menyikapi bencana dengan bijak dan bersama-sama bergandengan tangan dan mau bangkit kembali membangun daerahnya tanpa keluh kesah yang membebani mereka.

Selamat memperingati tiga tahun, bencana dasyat Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di wilayah Palu Sigi dan Donggala 28 September 2018 – 28 September 2021.

Penulis Merupakan Pegiat Jurnalisme Warga (Citizen Journalism), Penulis Freelance, Pegiat Media Sosial dan Akademisi UNTAD Palu

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

You cannot copy content of this page