Capai Angka 245, Warga Poso Positif Schistosomiasis Belum Mendapatkan  Obat Praziquantel

Kepala Dinas Kesehatan Pemda Poso dr Taufan Karwur

POSO, DETAIL73.COM – Dari hasil survei tinja penduduk program Chistosomiasis tahun 2022, diperoleh data bahwa ada sebanyak 245 orang warga Kabupaten Poso yang dinyatakan positif telah tertular Schistosomiasis, melonjak tajam dari 45 orang pada tahun 2019.

Ironisnya, hingga saat ini, para penderita
Schistosomiasis belum juga memperoleh obat jenis Praziquantel yang dikhususkan untuk pengobatan Schistosomiasis.

Dari hasil penelusuran, belakangan baru diketahui, hal tersebut disebabkan stok obat Praziquntel yang disediakan oleh WHO memang kosong.

Sehingga untuk melakukan penanganan terhadap penderita Schistosomiasis, pihak Puskesmas hanya melakukan pengobatan simptomatik berdasarkan gejala yang timbul atau dirasakan oleh pasien tanpa fokus pada pengobatan Schistosomiasis.

Padahal selama ini para penderita Schistosomiasis dengan pengobatan teratur menggunakan obat Praziquantel ini, berhasil memperoleh kesembuhan.

Kepala Dinas Kesehatan Pemda Poso
dr Taufan Karwur saat dikonfirmasi membenarkan soal meningkatnya angka penderita Schistosomiasis tahun 2022, jika dibandingkan pada tahun 2019 silam yang hanya ada 45 penderita.

“Penanganan maupun pengendalian Schistosomiasis di Poso memang agak terkendala saat merebaknya Covid-19, sehingga terjadi peningkatan jumlah positif Schistosomiasis,” akunya.

Disinggung soal tidak adanya stok obat jenis Praziquantel, yang saat ini sangat dibutuhkan oleh ratusan warga penderita Schistosomiasis. “Sebenarnya obat ini kata dia sudah masuk di Indonesia, hanya saja masih terkendala administrasi kepabeanan di Jakarta. “Hal ini jadi salah satu penyebab sehingga sampai saat ini obatnya belum diterima,” ungkap Taufan, pada pewarta media Rabu (01/02/2023).

Namun demikian dirinya mengaku optimis obat Praziquantel yang dinanti akan segera tiba di Kabupaten Poso, melalui upaya komunikasi secara berjenjang hingga ke pihak pemerintah pusat.

Kadis Taufan juga menghimbau warga masyarakat, khususnya yang berada di dalam wilayah yang diketahui lokasi
berkembangnya keong penyebar Schistosomiasis agar menggunakab Alat Pelindung Diri (APD) terutama dikaki saat turun beraktifitas di kebun yang kondisi tanahnya basah atau lembab.

“Gunakan sepatu karet (jenggel), saat berkebun agar larva pembawa bibit Schistosomiasis tidak masuk melalui pori-pori kaki,” ucap Taufan seraya menambahkan,”Jangan biarkan ada lahan tidur, terlebih yang berawah agar segera dikeringkan dan menjadi lahan tanam. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada tempat keong berkembang sekaligus memutus mata rantai penularan,” imbuhnya.

Taufan juga berharap ada sinergisitas dari lintas OPD terkait seperti Dinas PUPR baik Provinsi/Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa termasuk stakeholder lainnya agar upaya penanganan Schistosomiasis melalui program kerjanya benar-benar di lokasi yang tepat.

Adapun wilayah Kabupaten Poso yang
masuk dalam pemetaan penyebaran Schistosomiasis ada empat Kecamatan yakni :

1. Kecamatan Lore Utara meliputi
Desa Alitupu, Desa Banyusari,Desa Dodolo, Desa Kaduwaa, Desa Wuasa, Desa Sedoa dan Desa Watumaeta.

2. Kecamatan Lore Timur meliputi
Desa Kalimago, Desa Maholo, Desa Mekarsari, Desa Tamadue dan Desa Winowanga

3. Kecamatan Lore Peore meliputi
Desa Wanga dan Desa Watutau

4. Kecamatan Lore Barat meliputi
Desa Kageroa, Desa Tomihipi, Desa Toare
dan Desa Lengkeka.

Schistosomiasis (Bilharziasis) atau disebut demam keong merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma Japonucum yang hidup dalam pembuluh darah.

Penyakit demam keong hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana penyakit ini ditularkan melalui hospes perantara yaitu keong Oncomelania Hupensis Lindoensis yang sifatnya amphibius.

Schistosomiasis dapat menyerang semua umur, menghambat pertumbuhan, menurunkan daya kerja dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Schistosomiasis pertama kali ditemukan pada tahun 1935 oleh dr. Brug dan Tesch serta hanya ditemukan endemik di dataran tinggi Napu, Wilayah Lore, Kabupaten Poso dan dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi.

Penelitian Schistosomiasis sudah dimulai pada tahun 1940 dan pada tahun 1974 mulai dilakukan pemberantasan melalui pengobatan menggunakan obat Niridazole bagi penderita serta pemberantasan keong perantara dimana strategi tersebut dapat menurunkan prevalensi menjadi 25%.

Hampir semua mamalia yang ditemukan di daerah tersebut terjangkit oleh parasit seperti sapi, kerbau, anjing, babi, rusa, anoa dan berbagai jenis tikus baik tikus rumah maupun tikus ladang atau tukus hutan.

Pada tahun 1982, upaya pemberantasan yang lebih intensif dengan strategi pengobatan penduduk secara massal yang didukung penyuluhan, peningkatan sarana sanitasi lingkungan, pemeriksaan tinja penduduk, survei keong perantara dan tikus secara berkala maupun rutin dapat menurunkan prevalensi pada manusia dari 33,85% menjadi 1,5%

periode 1982-1988. Pengobatan massal juga dilakukan melalui pemberian obat baru yaitu *Praziquantel* dengan dosis 60 mg/kg BB yang dibagi 2 dengan tenggat minum obat antara 4-6 jam serta obat tersebut yang disediakan oleh WHO hingga saat ini masih terus diberikan kepada masyarakat yang terindikasi positif Schistosomiasis atau sebagai langkah antisipasi pencegahan.

Sejak saat itu mulai disadari bahwa pemberantasan maupun penanganan Schistosomiasis tidak dapat dilakukan oleh pihak kesehatan saja, namun harus adanya partisipasi masyarakat untuk menolong diri sendiri dalam mengobati dan menghindari penularan Schistosomiasis. **

Editor : David Mogadi

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

You cannot copy content of this page